Jangan
salahkan Alam
Oleh
: Asma Nadia
Seorang
murid sekolah dasar datang terlambat ke sekolah. Ini bukan pertama kali
sehingga gurunya pun tak sabar menegur.
“kenapa kamu terlambat
?” “macet, pak!”
“memang baru sekarang
macet?” “tidak, pak.”
“kemarin macet, tidak ?”
“macet. Pak.” “kemarin lagi, macet tidak?” “macet pak.”
“besok , kira-kira
macet tidak ?” “macet , pak.”
“jadi , menurut kamu,
pantas tidak terlambat karena alasan macet?” “tidak pantas, pak.”
“lalu, Apa yang kamu
lakukan?” “saya harus berangkat lebih cepat,pak.”
“bagus! Jangan pernah
bilang lagi terlambat Karena macet. Karena, itu sesuatu yang selalu terjadi.”
Kalau
anak sekolah dasar yang melakukan kesalahan seperti itu dalam membuat alasan,
banyak pihak mungkin masih bisa menerima. Anak-anak , pikirkan mereka masih
pendek. Namun, bagaimana jika orang dewasa yang mengungkapkan alasan demikian,
pantaskah?
Tentu
tidak. Kita tidak bisa memberi alasan atas sesuatu yang terjadi dan terjadi dan
terjadi lagi. Sebab, jika kiita melakukan kesalahn atas sesuatu yang telah
diketahui terus terjadi berkali-kali, artinya kita tidak belajar banyak.
Dibawah
ini berlangusng dialog yang mirip dengan adegan diatas, tetapi bukan terjadi
antara guru dan muridnya, melainkan antara penguasa dan yang lebih berkuasa.
“kenapa
tahun ini banjir?” “hujan deras, pak.” “ Memang baru sekarang hujan deras
menimbulkan banjir?” “tidak pak, tahun lalu juga.”
“Dua tahun lalu
bagaimana, hujan deras menimbulkan banjir?” “banjir juga pak.”
“bagaimana dengan tahun
sebelumnya dan sebelumnya ujan deras juga membuat banjir?” “banjir juga , pak.”
“tahun depan kalau kita
tidak berbuat apa-apa, kira-kira banjir tidak kalau hujan deras?” “banjir juga,
pak.”
“jadi, menurut kamu,
pantas tidak kita tidak melakukan apa-apa?” “tidak pantas , pak.”
“ Lalu, apa yang harus
kamu lakuakn?” “ Saya harus melakukan hal lebih dari tahun-tahun sebelumnya
karena kalau saya melakukan hal ynag sama, maka akan tetap terjadi banjir. “
“Bagus!”
Ya,
Jakarta banjir lagi dan lagi. Bukan hujan penyebabnya karena dari dulu hujan
sudah turun. Bukan pula karena Jakarta ada di datraan rendah, maka kita
kebanjiran. Karena, dari dulu juga Jakarta beras di dataran rendah. Amstredam yang berada dibawah permukaan laut
tidka banjir setiap tahun karena bangsa disana tidak menjadikan rendahnya wilayah
sebagai alasan yang bisa diterima untuk terjadinya banjir.
Bukan
karena banjir kiriman masyarakat ibu kota kebanjiran. Karena, sejak dulu jakarta mendapat kiriman
air dari daerah yang lebih tinggi. Sejak lama kita menyebur Bogor kota hujan
dan dari dulu posisi bogor ada diatas jakarta. Jadi, salah siapa? Kesalahan
utama kita adalah menyalahkan alam sebagai penyebabnya. Lalu, jika bkan alam,
siapakah yang bertanggung jawab.?
Apakah
salah pemerintah atau pemerintah daerah? Bisa dibilang iya, tapi tidak
sepenuhnya benar. Karena , pemerintah daerah sekarang hanya kelanjutan atas
ketidak beresan yang ada sejak lama. Ada perbaikan, tapi maish butuh
waktu. Semoga saja terkejar
pembenahannya sehingga tidak terjadi bencana banjir pada tahun mendatang.
Apakah
kesalahan swasta yang membangun begitu banyak gedung sehingga mengurangi
resapan air? Bisa dibilang iya, tapi juga tdiak sepenuhnya benar. Karena sampah
hanya membuat banjir setempat , bukan banjir besar-besraan.
Jadi
, salah siapa? Yang terpenting berhenti menyalahkan alam,. Sudah dari sananya
sifat alam seperti ini. Menyalhakan alam akan membuat kita terus memelihara
pembenaran atas banjir yang datang lagi dan lagi.
Lalu,
salah siapa? Mungkin setiap kita memiliki andil kesalahan. Kita yang sudah
dewasa, tapi masih memberi alasan mengapa banjir, seperti anak SD tadi menjawab
trelambat karena macet. Sesuatu yang sudah pernha terjadi, masih terjadi dan
akan terjadi dan tetap saja kita membiarkan nya terjadi.
Benar
kata pepatah , “Semua orang pasti akan tua, tapi tidak semua menjadi dewasa” .
Masih merupakan tanda tanya besar, soal kapan kita kahirnya akan dewasa
menghadapi alam ini.